Menderita dalam Keheningan
Mereka mungkin masih tidak tahu bagaimana aku menderita dalam diam sambil tertawa di antara mereka.
Mereka mungkin masih tidak tahu bagaimana aku hanya tinggal sedetik lagi untuk terkoyak. Ketika aku berulang kali lipat mengatakan, “Aku telah melakukan yang terbaik”.
Kurasa aku tidak pernah memberitahu mereka karena jauh di lubuk hatiku, aku tahu akulah penyebab tenggelamnya aku;
Aku tahu akulah hujan yang menyebabkan banjir dalam hidupku.
Menderita dalam Keheningan sebenarnya bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah konsekuensi beragam dari kehidupan saya yang membingungkan.
Sekarang, setelah saya mampu menggunakan otot emosional untuk mengarahkan perasaan saya sendiri, saya tidak lagi berada di ruangan itu.
Aku tak lagi menangis sendirian disana, menenggelamkan diriku dengan air mataku sendiri.
Saya tidak lagi menyandingkan hidup saya yang tidak berwarna dengan hal-hal berwarna yang dimiliki orang lain.
Karena penderitaan itu seperti bekas luka.
Ketika Anda mendapat luka dan keropeng mulai terbentuk di sekitarnya, Anda melepas plesternya, membiarkannya sembuh sampai keropengnya hilang.
Penderitaan (depresi) juga sama.
Anda mempunyai hak untuk mengisolasi diri Anda sendiri dengan plester Anda sendiri, tapi ingat, pada titik tertentu, Anda harus melepasnya dan keluar ke dunia untuk menyembuhkan.
Merangkul kerapuhan Anda sendiri untuk menyembuhkan bukanlah hal yang memalukan;
itu pertanda harapan yang membeku perlahan mencair.